TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA

3/22/2010

Konsep Pribadi tidak sehat menurut teori eksestensialisme

Kata Kunci: al-Qur’an, tafsir susastra,kitab, trans historis, trans kultural.
Pendahuluan
Ada beberapa teori dan pendekatan konseling yang biasa digunakan
oleh para konselor dalam membantu klien menghadapi masalah. Menurut
Corey dalam bukunya Teori dan Praktik Konseling dan Psikoterapi ada
sembilan aliran, salah satunya adalah teori Eksistensial Humanistik. Yang
di dalamnya memuat tentang enam dimensi dasar positif yang dimiliki
oleh setiap manusia, yaitu: 1. kapasitas akan kesadaran diri; 2. kebebasan
serta tanggung jawab; 3. menciptakan identitas dirinya dan menciptakan
hubugan yang bermakna dengan orang lain; 4. usaha pencarian makna,
tujuan, nilai dan sasaran; 5. kecemasan sebagai suatu kondisi hidup; dan
6. kesadaran akan datangnya maut serta ketidakberadaan .
Di dalam sumber ajaran Islam yang terdapat dalam Al Qur’an dan
Hadist, sebenarnya sudah banyak ayat-ayat yang mengandung arti
konseling, hanya saja masih tersebar diberbagai tempat dan belum
tersusun secara sistematis dan dipilah-pilah seperti dalam konseling secara
umum. Terutama dalam sistematika tentang : hakikat manusia, pribadi
sehat, pribadi tidak sehat, konsep konseling, peran dan fungsi
konselorserta tehnik dan prosedur dalam konseling. Oleh karena itu,
kiranya tidak terlalu berlebihan apabila penelitian ini bertujuan untuk
mencari bahan dari Islam , khususnya ayat-ayat yang memiliki dan
mengandung nilai konseling.
Demikian pula halnya dalam proses konseling, karena mayoritas
masyarakat Indonesia beragama Islam maka diupayakan mencari bentuk
konseling yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia tersebut,
tanpa menutup kemungkinan diberlakukannya konseling non Islam. Teori
Eksistensial Humanistik memuat tentang enam dimensi dasar positif yang
menurut penulis berdekatan dengan Islam. Karena apa yang terkandung
di dalamnya terdapat juga dalam ajaran Islam. Oleh karena itu dalam
penelitian ini penulis ingin mencoba mengungkap lebih mendalam lagi
tentang materi enam dimensi dasar positif tersebut dikaitkan dengan
konseling Islam.
Berpijak dari materi latar belakang masalah tersebut, muncul beberapa
masalah pokok dalam penelitian ini, yaitu : Bagaimana teori Eksistensial
Humanistik tentang enam dimensi dasar positif ? Bagaimana tinjauan
Islam tentang enam dimensi dasar tersebut ? Bagaimana kemungkinan
penerapan enam dimensi dasar tersebut ke dalam konseling Islam ?
Adapun tujuan yang hendak penulis capai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut : Mendeskripsikan teori Eksistensial Humanistik tentang
enam dimensi dasar positif, Mendeskripsikan tinjauan Islam terhadap
enam dimensi dasar tersebut. Mendeskripsikan kemungkinan penerapan
enam dimensi dasar tersebut dalam konseling Islam. Dari hasil penelitian
ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang enam
dimensi dasar positif dari teori Eksistensial Humanistik yang mengarah
pada usaha membangun dan mengembangkan konseling dan psikoterapi
yang berwawasan Islam, menambah wawasan dalam mengembangkan
pemikiran terhadap khasanah keilmuan konseling Islam. Selain itu, agar
ke depannya dapat digunakan sebagai pendekatan konseling alternatif
bagi konselor dalam membantu klien, agar ke depannya dapat dijadikan
pegangan bagi para konselor muslim dalam membantu klien yang beragama
Islam dalam membantu permasalahan mad’u yang berhubungan dengan
enam dimensi dasar.
Kerangka Teoritik
Penulis mengutip beberapa pendapat ahli tentang definisi konseling.
Menurut Shertzer/Stone: Counseling is an interaction process that facilitates
meaningful understanding of self and environment and result in the establishment
and/or clarification of goals and values for future behavior. 2 Sedangkan
menurut Ivey & Downing ( 1980 : 13 ) : Counseling is a more intensive
process concerned with assisting normal people to achieve their goals or function
more efectivelly.3 Menurut Patterson dan Eisenberg ( 1983) dalam Rosjidan,
Konseling adalah suatu proses yang ditandai oleh suatu hubungan unik
antara konselor dan klien yang mengarah kepada perubahan pada pihak
klien di dalam suatu atau lebih bidang-bidang berikut : 1. tingkah laku;
2. konstruk pribadi (cara membentuk realita, termasuk membentuk diri);
3. kemampuan untuk menangani situasi-situasi hidup; 4. pengetahuan
dan ketrampilan pembuatan keputusan.4 Dari ketiga definisi tersebut,
penulis lebih condong memilih definisi yang terakhir, yaitu berorientasi
pada perubahan.
Secara umum, tehnik dan pendekatan tersebut menurut Ivey &
Downing terbagi dalam tiga teori besar, yaitu : Psikodinamika,
Behaviorisme dan Eksistensial Humanistik.5 Sesuai dengan kajian dari
penelitian ini, penulis hanya akan membahas tentang enam dimensi dasar
positif dari teori Eksisensial Humanistik saja.
Humanisme muncul karena adanya keragu-raguan yang mendasar
terhadap psikodinamika dan behaviorisme. Teori yang dipelopori Abraham
Maslow dan Carl R Rogers ini sangat menghargai keunikan pribadi,
penghayatan subyektif, kebebasan, tanggung jawab , terutama kemampuan
mengaktualisasikan diri pada setiap individu. Aliran ini juga mempunyai
pandangan sangat optimis dan bahkan terlampau optimistik terhadap
upaya pengembangan sumber daya manusia, sehingga manusia dipandang
sebagai penentu tunggal yang mampu melakukan play – God ( peran
Tuhan ). 6
Teori ini sangat berpengaruh dalam membuka pandangan yang luas
terhadap para ahli dan arah masyarakat. Eksistensial Humanistik relatif
baru jika dibanding dengan dua teori besar sebelumnya yaitu
Psikodinamika dan Behaviorisme. Teori ini merupakan hasil perluasan
untuk menyiapkan pendekatan humanis. 7 Sejalan dengan ini pula,
Herlianto, dalam artikelnya di internet menulis, bahwa sejak tahun 1970
an muncul gerakan mistik modern yang membawa falsafah sama dengan
bentuk gerakan zaman baru dan humanisme baru. Gerakan terselubung
ini dikenal dengan berbagai macam gerakan pengembangan pribadi. Yang
pada prinsipnya mengajak orang untuk menyadari kemampuannya yang
tidak terbatas/terhingga, untuk mencapai kehidupan yang damai, suka
cita, cinta dan kelimpahan di bumi ini. Pada dasarnya gerakan ini
mempercayai adanya kekuatan ( power ), pikiran ( mind ), atau potensi
alam semesta yang disebut sebagai universal power, universal mind atau
universal self dan manusia memiliki sebagian dari kekuatan itu. Manusia
dianggap mempunyai potensi/kekuatan demikian yang tidak terhingga,
sehingga tugas manusia adalah menggali kekuatan/potensi diri itu
semaksimal mungkin untuk mencapai kemanusiaan yang penuh. 8 Dari
gerakan ini kita bisa melihat, bahwa seolah-olah manusia bisa apa saja
dengan potensi yang tak terhingga, sehingga bisa meraih dan menciptakan
sesuatu dengan kemampuan dirinya tanpa peduli dengan kekuatan lain
di luar diri manusia, yaitu kekatan dan kekuasaan Tuhan pencipta alam
semesta, termasuk yang menciptakan manusia. Menurut Sandhu, analogi
terhadap kekuatan di dalam konseling dan psikoterapi meliputi :
Psikodinamika, Behaviorisme, Humanisme, Multikultural, dan Spiritual
adalah sebagai kekuatan kelima. 9
Dalam sejarah agama kita saksikan manusia berusaha mencari
perlindungan dalam agama tertentu untuk mencari ketentraman jiwa,
yaitu suatu usaha untuk memperbaiki kesehatan mentalnya. 10 Kesehatan
mental dapat dicapai antara lain dengan keyakinan akan ajaran agama,
keteguhan dalam mengindahkan norma-norma sosial, hukum, moral dan
sebagainya. Yang menentukan ketenangan dan kebahagiaan hidup adalah
kesehatan mental. Orang yang sehat mentalnya tidak akan lekas merasa
putus asa, pesimis, apatis, karena ia dapat menghadapi semua rintangan/
kegagalan dalam hidup dengan tenang dan wajar serta menerima
kegagalan itu sebagai suatu pelajaran yang akan membawa suksesnya
nanti. 11 Menurut Al Qur’an keadaan-keadaan yang merisaukan itu
bersumber dari manusia sendiri, yaitu mempunyai sifat suka lupa. Sehingga
perlu dioptimalkan melalui pembinaan dan pembiasaan untuk
mewujudkan potensi-potensi intelektualnya, kerelaan pada diri sendiri
dan aspek spiritual manusia. Bagi mereka yang beragama, kebutuhan
ruhani ini dapat diperoleh lewat agama. 12 Agama merupakan kebutuhan
dasar spiritual manusia. ( Surah Ar Ruum, 30 : 30 ).
Metodologi Penelitian
Penelitian ini dimaksud untuk memperoleh gambaran tentang enam
dimensi dasar positif dari teori Eksistensial Humanistik, sehingga
pendekatan yang digunakan di sini adalah pendekatan kualitatif dan
metode induktif. Hal ini dilakukan karena fokus penelitian menitik
beratkan pada kajian konseptual yang berupa butir-butir pemikiran dan
bagaimana pemikiran itu tersosialisasikan. Fokus dalam penelitian ini
adalah library reserch, yaitu suatu riset kepustakaan 13 Hal ini dilakukan
untuk mengkaji literatur-literatur yang membahas tentang teori
Eksistensial Humanistik, terutama yang berkaitan dengan enam dimensi
dasar positif serta buku-buku yang membahas tentang konseling Islam.
Dari data-data yang telah terkumpul, kemudian akan dianalisis
dengan pendekatan content analysis atau analisis isi yang positivistik
kualiatif dan metode induktif. Hal ini digunakan karena fokus penelitian
menitik beratkan pada kajian konseptual yang berupa butir-butir
pemikiran dan bagaimana pemikiran itu tersosialiasikan.
Pandangan teori Eksistensial Humanistik tentang:
1. Hakikat Manusia
Manusia adalah mahluk yang selalu dalam keadaan transisi,
berkembang, membentuk diri dan menjadi sesuatu. Menjadi seseorang
berarti kita menemukan sesuatu dan menjadikan keberadaan kita sebagai
sesuatu yang wajar . Sebagai manusia kita selalu bertanya tentang diri
sendiri, orang lain dan dunia. Memiliki enam dimeni dasar positif dari
kondisi manusia, yaitu : 1. kapasitas akan kesadaran diri; 2. kebebasan
serta tanggung jawab; 3. menciptakan identitas dirinya dan menciptakan
hubugan yang bermakna dengan orang lain; 4. usaha pencarian makna,
tujuan, nilai dan sasaran; 5. kecemasan sbagai suatu kondisi hidup; dan
6. kesadaran akan datangnya maut serta ketidakberadaan .14 Manusia
pada dasarnya baik – aktif . Kecenderungan manusia untuk berkembang
secara positif dan konstruktif apabila tercipta suasana menghormati dan
mempercayai. Manusia itu penuh akal, dapat dipercaya dan positif,
mampu mengarahkan diri, hidup secara produktif, efektif dan efisien. 15
6 Teologia, Volume 19, Nomor 1, Januari 2008
Penerapan Enam Dimensi ...Oleh Maryatul Kibtyah
Pandangan positif tentang sifat dasar manusia ini mengandung implikasi
yang signifikan bagi praktik terapi yang berakar pada kapasitas klien
untuk menyadari dan kemampuannya untuk membuat keputusan.
Melihat manusia dari sisi ini berarti terapis berfokus pada segi konstruktif
dari sifat dasar manusia, pada apa yang benar dengan pribadi itu dan
pada aset yang dibawa orang dalam terapi. Implikainya bahwa mereka
tiada hentinya terlibat dalam suatu proses mengaktualisasikan diri.16
2. Pribadi Sehat
Manusia dikatakan sehat pribadinya jika dapat memfungsikan 6
dimensi dasar tersebut secara benar, sehingga kesadaran berfungsi secara
penuh, yaitu berpikir positif, dapat dipercaya, kreatif, memahami diri
sendiri, produktif, efektif dan kongruen. Rogers ( 1961 ) dalam Corey (
2000) melukiskan orang yang menjadi makin teraktualisasi memiliki
karakteristik sebagai berikut : 1. keterbukaan terhadap pengalaman, 2.
percaya pada diri sendiri, 3. sumber evaluasi internal, 4. kesediaan untuk
tumbuh secara berlanjut.17
3. Pribadi Tidak Sehat
Yaitu gagal/tidak mampu memfungsikan 6 dimensi dasar yang dimiliki
manusia, sehingga kesadaran tidak berfungsi secara penuh. Yaitu :
inkongruen, negatif, tidak dapat dipercaya, tidak dapat memahami diri
sendiri, bermusuhan, kurang produktif.
4. Tujuan Konseling.
Menolong orang bisa mengetahui bahwa mereka menjadi sadar akan
kemungkinan-kemungkinan itu. Menantang mereka untuk mengenali
bahwa mereka bertanggung jawab atas peristiwa yang pada mulanya
mereka perkirakan menimpa dirinya, kemudian mengidentifikasikan
faktor yang menghalangi kebebasan. 18 Difokuskan pada si pribadi, bukan
pada problem yang dikemukakan oleh klien. Lebih jelasnya konseling
adalah merevisi atau memperbaiki fungsi pribadi. Dalam proses konseling
diperlukan suatu kondisi yang dianggap bisa menciptakan perubahan
kepribadian, yaitu : 1. Ada dua orang dalam kontak psiklogis, 2. Orang
pertama yang kita beri nama klien mengalami hal yang tidak kongruen,
3. Orang kedua disebut terapis, adalah yang kongruen dan terintegrasi
dalam hubungan itu, 4. Terapis menaruh perhatian positif, yaitu betul-
betul peduli terhadap klien, 5. Terapis mengalami pemahaman secara
empati terhadap ukuran internal di mana klien membentuk sikap atau
keputusan dan usaha utuk mengkomunikasikannya dengan klien, 6. Yang
dikomunikasikan dengan klien berupa pemahaman empati dan perhatian
positif tanpa syarat. 19
5. Hubungan Terapis dengan Klien
Tugas utama dari terapis adalah untuk secara akurat keberadaan
klien di dunia dan untuk menegakkan tatap muka secara pribadi dan
otentik. Klien menemukan keunikan diriya dalam hubungannya dengan
si terapis, tatap muka antara dua manusia, adanya hubngan klien dengan
terapis, dan keotentikan dari tatap muka di sini dan sekarang
mendapatkan tekanan, baik klien maupun terapis bisa berubah oleh tatap
muka ini.
6. Tehnik dan Prosedur.
Sedikit saja tehnik yang keluar dari pendekatan ini, sebab yang
pertama mendapat tekanan adalah pemahaman, baru kemudian
tehniknya. Para terapis bisa meminjam tehnik pendekatan lain dan
memasukkannya dalam kerangka eksistensial. Pendekatan ini tidak
memiliki perangkat tehnik yang siap pakai. Inti dari terapi ini adalah
penggunaan pribadi terapis. 20 Ada tiga tahap dalam konseling eksistensial,
yaitu : tahap pendahuluan, tahap tengah dan tahap akhir dari konseling.
7. Fungsi dan Peran Konselor.
Yang lebih diutamakan oleh konselor dalam terapi ini adalah
memahami dunia subyektif klien, dengan harapan agar bisa menolong
klien mmahami dan meentukan pilihan-pilihan baru. Fokusnya adalah
pada saat itu, yang paling utama diperhatikan oleh konselor adalah laku
klien untuk melepaskan diri dari tanggung jawab, klien diajak untuk
menerima pertanggung jawaban pribadi. 21
Tinjauan Islam terhadap enam dimensi dasar positif
teori Eksistensial Humanistik.
Enam dimensi dasar positif dari teori Eksistensial Humanistik, yaitu :
1. kapasitas akan kesadaran diri; 2. kebebasan serta tanggung jawab; 3.
menciptakan identitas dirinya dan menciptakan hubungan yang bermakna
dengan orang lain; 4. usaha pencarian makna, tujuan, nilai dan sasaran;
5. kecemasan sebagai suatu kondisi hidup; dan 6. kesadaran akan
datangnya maut serta ketidakberadaan ; jika ditinjau dari pandangan
Islam adalah pada dasarnya dalam Islam ( Al Qur’an dan Hadist ) memuat
seluruh komponen kehidupan termasuk enam dimensi dasar tersebut.
Hal ini bila kita kupas satu persatu dari enam dimensi dasar tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Kapasitas akan kesadaran diri.
• Manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, Hadist Riwayat
Muslim.
Artinya : Tiap-tiap orang itu dilahirkan ibunya atas dasar fitrah, kedua
orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Apabila kedua orangtuanya muslim, jadilah ia muslim ( H.R. Muslim)
• Fitrah manusia beragama tauhid dan penerima kebenaran, Surah
Ar Ruum, 30: 30
• Sudah ada perjanjian mengakui Allah sebagai Tuhan, Surah Al
A’raf, 7 : 172
• Manusia dibekali dengan potensi akal, pendengaran, penglihatan
dan hati, - Surah Ar Ra’du, 13 : 19 – 20; -. As Sajadah, 32 : 9
• Manusia dibekali dengan petunjuk ilahiyah, Surah Al Fatihah, 1 : 7
• Manusia sebagai khalifah, Al Baqarah, 2 : 30
• Manusia diberi amanat (tugas-tugas keagamaan), Al Ahzab, 33 : 72
• Manusia sebagai pengabdi Allah (Abdullah), Adz Dzariyat, 51 : 56
Sesuai dengan fitrahnya, bahwa manusia itu dilahirkan dalam keadaan
suci, secara fitrah beragama tauhid dan penerima kebenaran, terikat
perjanjian dengan Allah bahwa Allah itu Tuhannya, dibekali dengan
potensi akal, pendengaran, penglihatan, hati, dan petunjuk Ilahiyah,
sebagai khalifah , pemegang amanat (tugas keagamaan), dan sebagai
Abdullah (pengabdi). Kapasitas akan kesadaran diri dalam Islam adalah
menyadari eksistensinya sebagai manusia mahluk ciptaan Allah yang harus
menjalankan fungsinya sebagai khalifah (pemimpin di muka bumi ini
dan mengelolanya ), sebagai Abdullah, yang punya kewajiban untuk
mengabdi dan beribadah kepada Sang Khaliq, menggunakan potensi yang
diberikan Allah berupa akal, hati, pendengaran dan penglihatan untuk
memahami tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah. Sadar akan
keadaannya untuk memfungsikan diri sesuai dengan fitrahnya. Menurut
Bastaman sekalipun manusia seakan-akan merupakan pusat hubungan-
hubungan (center of relatedness), tetapi dalam ajaran Islam pusat segalanya
bukanlah manusia, melainkan Sang Pencipta sendiri. Dengan demikian
landasan filsafat ajaran Islam bukan antroposentrisme, melainkan
Theosentrisme atau Allah-sentrisme.22 Gambaran manusia dengan
kehidupannya banyak sekali dalam Al Qur’an . 23 Menurut Musnamar
& Faqih manusia diciptakan Allah di dunia ini memiliki fungsi sebagai
berikut 24:
1. Sebagai mahluk Allah, yang secara kodrati merupakan mahluk
religius ( mengabdi kepada Allah / abdullah ).
2. Sebagai mahluk individu, yang memiliki kekhasan masing-masing,
memiliki potensi dan eksistensi sendiri. Dengan keunikan yang
dimilikinya, menjadikan setiap individu itu berbeda dengan yang lainnya,
sehingga manusia dituntut untuk memikirkan keadaan dirinya. ( Surah
Al Qomar, 54 : 49 ).
3. Sebagai mahluk sosial, yang memerlukan bantuan dan selalu
berhubungan dengan orang lain. Tidak mungkin manusia hidup sendiri
tanpa melibatkan pihak lain. Oleh karena itu, ia selalu memikirkan orang
lain. ( Surah Al Hujurat, 49 : 13 ).
4. Sebagai mahluk berbudaya, yang hidup di dalam dan mengelola
alam dunia ini dengan akal dan pikirannya untuk menciptakan
kebudayaan. Sebutan khalifah fil ardh sesuai untuk fungsi sebagai
pengelola alam dan memakmurkannya. Surah Al Fatir, 35 : 39 : “ Dialah
yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi ini”.
2. Kebebasan dan bertanggung jawab.
• Manusia diberi kebebasan, Surah Asy Syams, 91 : 8
• Manusia bertanggung jawab atas perbuatannya, Surah Al
Qiyamah, 75 : 13 – 15; Surah Al Mudatsir, 74 : 38; Surah Al Isra’, 17 : 36.
Manusia diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri,
namun demikian ia tetap beranggung jawab atas pilihannya itu. Potensi
yang diberikan Allah kepada manusia diserahkan sepenuhnya
penggunaannya kepada manusia itu sendiri, konsekuensinya nanti harus
mempertanggung jawabkan akibat dari perbuatannya itu kepada manusia,
alam untuk saat ini dan di sini di dunia, dan kepada Sang Pencipta untuk
disana dan yang akan datang di akhirat.
3. Menciptakan identitas dirinya dan menciptakan hubungan yang
bermakna dengan orang lain.
Ada beberapa ayat dalam Al Qur’an yang mengandung dimensi yang
ketiga, yaitu :
- Manusia adalah mahluk yang berkualitas, Ali Imron, 3 : 110
- Keseimbangan antara hablu minallah dan hablu minannas, Ali
Imron, 3 : 112
- Saling menolong dalam kebajikan dan menjauhi perbuatan yang
jelek, Al Maidah, 5 : 1 – 2
- Saling menasihati dan menaati kebenaran, serta berlaku sabar
dan adil, Al Ashr, 103 : 1 – 3
- Keseimbangan antara dunia dan akhirat, - Al Qashash, 28 : 77;
- Al Baqarah, 2 : 201
- Memelihara silaturrahim, An Nisa’, 4 : 1
Sekurang-kurangnya terdapat empat ragam relasi manusia yang
masing-masing memiliki kutub positif dan negatif, yaitu :
1. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri ( hablu minannas ) yang
ditandai oleh kesadaran untuk melakukan amal ma’ruf nahi munkar (
QS, Ali Imran, 3 : 110 ) atau sebaliknya mengumbar nafsu-nafsu rendah
( QS, Yasin, 36 : 6 ; QS, Al Jatsiyat, 45 : 23 ).
2. Hubungan antar manusia ( hablu minannas ) dengan usaha
membina silaturahmi ( QS, An Nisa’, 4 : 1 ) atau memutuskannya ( QS,
Yusuf, 12 : 100 ).
3. Hubungan manusia dengan alam sekitar ( hablu minal alam )
yang ditandai upaya pelestarian alam dan pemanfaatan alam dengan
sebaik-baiknya ( QS, Hud, 11 : 6 ) atau sebaliknya menimbulkan
kerusakan alam ( QS, Ar Ruum, 30 : 41 ).
4. Hubungan manusia dengan Sang Pencipta ( hablu minallah )
dengan kewajiban ibadah kepadaNya ( QS, Adz Dzaariyat, 51 : 56 ) atau
menjadi ingkar dan syirik kepadaNya ( QS, An Nisa’, 4 : 48 ).
4. Usaha pencarian makna, tujuan, nilai dan sasaran:
Manusia diberi kekuatan batin dan keyakinan yang mantap, Al Anfal,
8 : 2 – 4
• Selalu berpikir positif (positifisme), Hadist riwayat Ibnu Asakir
Artinya : Bekerjalah untuk kepentingan duniamu seolah-olah kamu
akan hidup abadi, dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah kamu
akan mati esok hari.
• Dilebihkan dari mahluk lain (Al-Isro’, 17 : 70)
• Dilengkapi dengan indra dan hati agar bersyukur (An-Nahl, 16:
78)
• Memiliki pandangan hidup yang lurus, Al Bayyinah, 98 : 5
Termasuk kesabaran kita dalam menghadapi masalah. Apakah kita
bisa mengambil hikmah dari peristiwa yang sedang dicobakan Allah
kepada manusia. Kita harus yakin, bahwa Allah akan menguji hambaNya
dengan kesenangan, kesusahan, kecemaan, kepedihan, dan kematian.
Tergantung seberapa besar tingkat keimanan kita menerimanya. Kalau
manusia bisa menerima dan yakin bahwa dengan cobaan itu Allah akan
meninggikan derajat kita dengan tawakkal.
5. Kecemasan sebagai suatu kondisi hidup;
Ingat Allah (Ar Ra’du, 13 : 28)
Perasaan cemas tarafnya bermacam-macam, mulai dari yang paling
ringan sampai yang paling berat. Mulai dari yang sifatnya normal/biasa
sampai kecemasan neurotik yang merupakan gejala gangguan kejiwaan.
Kecemasan yang paling sering melanda masyarakat dewasa ini menurut
Bastaman adalah kehampaan hidup ( existensial vacuum ) yang diakibatkan
karena orang yang bersangkutan tidak berhasil menemukan makna dalam
hidupnya. Mereka yang mengalami kehampaan ini biasanya berkeluh
kesah, bahwa mereka serba hampa, bosan, dan penuh keputusasaan.
Mereka juga kehilangan minat dan inisiatif serta merasakan bahwa
hidupnya tidak berarti. Terapi yang ditawarkan Islm dalam mengatasi
kecemasan ini adalah dengan dzikrullah untuk menghadirkan tumakninah,
yaitu perasaan tenang,dan tenteram yang mendalam sebagai anugerah
Allah. Akibat dari mengingat Allah ini adalah sebagai : Sarana komunikasi
untuk mendekatkan diri kepada Allah, Menjadi golongan yang unggul,
Allah menyediakan ampunan dan pahala yang banyak, Membentengi
diri dari segala siksa dan bencana, Menunda datangnya kiamat.25
Allah tidak membebani manusia kecuali sesuai kadar kemampuannya
(Al-Mu’minun, 23 : 62); (Al-Baqarah, 2 : 286) ; (Al An’am, 6 : 152)
Kita harus yakin, bahwa Allah tidak membebani manusia di luar
batas kemampuannya. Karena Dia sudah memperkirakan kemampuan
masing-masing orang tidak akan sama dalam menghadapi cobaan. Yang
perlu ditanamkan dalam diri kita, bahwa dibalik musibah/cobaan pasti
ada hikmahnya. Hanya saja kemampuan manusia sangat terbatas untuk
menangkap dan memahami apa yang ada dibalik suatu peristiwa. Hal ini
menuntut kesabaran kita dalam menghadapinya, termasuk kecemasan
yang diakibatkan karena ketidaksabaran kita menghadapi masalah.
6. Kesadaran akan Datangnya Maut serta Ketidakberadaan
Tiap yang berjiwa akan mati (Ali Imran , 3 : 185); (Al Baqarah, 2 :
156 ).
Mati adalah rahasia Allah. Manusia tidak tahu kapan dia akan mati,
tetapi wajib mempecayainya, bahwa maut pasti datang, karena itu
merupakan salah satu rukun iman, yaitu percaya akan adanya qodlo dan
qodar . Oleh karena itu, kita harus menyadari keberadaan kita di dunia
ini. Dari mana kita ada, untuk apa kita diciptakan dan ke mana setelah
kita mati. Semuanya dari dan untuk Allah. Kita berasal dari Allah, untuk
mengabdi dan beribadah kepadaNya.
Dalam konseling Islam, kita tidak bisa lepas dari konseling secara
umum. Untuk menerapkan konseling dalam Islam, mau tidak mau kita
harus mengacu kepada unsur-unsur konseling pada umumnya. Di awal
pembahasan, penulis mengacu kepada pendapat Corey, tentang unsur-
unsur yang ada dalam konseling, yaitu : pandangan tentang hakikat
manusia, pribadi sehat, pribadi tidak sehat, tujuan koseling, hubungan
terapis dengan klien, tehnik dan prosedur serta fungsi dan peran konselor.
Oleh karena itu, dalam pembahasan selanjutnya untuk memahami
tentang enam dimensi dasar positif dan kemungkinan penerapannya dalam
konseling Islam, penulis mengawalinya dengan menggunakan unsur-unsur
yang dikemukakan Corey tersebut.
1. Hakikat manusia menurut Islam adalah netral pasif dan aktif
sekaligus, yang hanya dibedakan dengan rentang waktu, karena faktor
usia balita dan dewasa. Manusia itu netral – pasif pada masa balita.
Karena pada masa ini potensi yang dimiliki oleh individu, dalam hal ini
anak belum berfungsi secara optimal, belum mandiri dan masih
bergantung kepada orang tua. Sehingga orang tuanyalah yang
bertanggung jawab atas perbuatan dan tingkah laku anaknya. Manusia
Teologia, Volume 19, Nomor 1, Januari 2008 13
Penerapan Enam Dimensi ...Oleh Maryatul Kibtyah
itu netral – aktif setelah usia akil baligh, karena pada masa ini, potensi
yang dimiliki oleh individu sudah berfungsi secara optimal, sudah bisa
menentukan baik-buruk, halal haram, sudah bisa mandiri, sehingga
individu itu sendirilah yang bertanggung jawab atas perbuatan dan tingkah
lakunya. Secara fitrah pula manusia beragama tauhid dan penerima
kebenaran juga diberi kebebasan untuk menentukan jalan ketakwaan
atau kefasikan, sudah terikat oleh perjanjian untuk mengakui Allah
sebagai Tuhannya, dibekali dengan potensi akal, pendengaran,
penglihatan dan hati serta petunjuk Ilahiyah, sehingga manusia
seharusnya bisa melaksanakan tugas-tugas keagamaan yang diberikan
Allah kepada dirinya, sebagai khalifah , yaitu orang yang melaksanakan
apa yang telah dilaksanaan oleh generasi sebelumnya, sekaligus sebagai
Abdullah, yaitu penyembah Allah.
2. Pribadi sehat menurut Islam berfungsinya iman sebagai penentu
dalam kognitif, afektif dan psikomotorik. Dalam hal ini berarti berpikir,
bertindak dan berbuat sesuai dengan fitrahnya yang mengarah pada
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak.. Pribadi sehat akan
mengarahkan manusia kepada mental yang sehat pula. Meliputi mencintai
Allah, bertaqwa, mengakui kesalahan, beramar ma’ruf nahi munkar,
memelihara hubungan dengan Allah dan dengan sesama manusia,
berpandangan hidup lurus, saling menolong dalam kebaikan dan melarang
berbuat dosa, batinnya kuat, berlaku sabar dan adil, bernasihat tentang
kebenaran, selalu mengingat Allah, menjaga keseimbangan dunia
akhirat, selalu berpikir positif, dan menjaga silaturrahim.
3. Pribadi tidak sehat menurut Islam adalah iman tidak dapat
berfungsi penuh sebagai penentu/pengendali dalam kognitif, afektif dan
psikomotorik. Pribadi tidak sehat ini dalam Al Qur’an termasuk golongan
hamba yang tidak mendapat petunjuk dan tidak dicintai Allah. Mereka
itu sesat karena tidak mau menggunakan akalnya. Hal ini berarti manusia
tidak memanfaatkan potensi yang diberikan Allah, melupakan Allah,
dzalim, kafir, musyrik, syirik, munafiq, selalu mengikuti hawa nafsu, dan
selalu berbuat kerusakan.
4.Tujuan Konseling menurut Islam pemberdayaan iman, atau lebih
tepatnya penulis sebut mengembalikan manusia sesuai dengan fitrahnya
yaitu beragama tauhid dan penerima kebenaran, terikat pejanjian dengan
Allah dan mengakui bahwa Allah itu Tuhannya, dibekali dengan potensi
akal, pendengaran, penglihatan, hati, dan petunjuk Ilahiyah, sebagai
khalifah atau pemegang amanat untuk tugas keagamaan, dan sebagai
Abdullah (pengabdi), bertanggung jawab atas pebuatannya, serta diberi
kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya sesuai dengan fitrahnya.
5. Hubungan Terapis Dengan Klien
Hubungan yang terjadi dalam konseling Islam antara klien dan terapis
adalah uswah khasanah (teladan yang baik). Seperti yang tejadi pada
waktu nabi SAW berkumpul dalam satu majelis untuk menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi oleh umatnya. Selain itu juga sebagai
penyempurna ahlak. Hubungan yang terjadi dalam konseling Islam adalah
keteladanan dari konselor terhadap kliennya. Terlebih dahulu konselor
harus memahami diri mereka sediri sebelum memahami dunia klien, agar
dalam proses konseling tidak terjadi salah persepsi atau salah paham
terhadap permasalahan yang diajukan klien.
6.Tehnik dan Metode
Tehnik yang bisa digunakan oleh konselor muslim dalam proses
konseling juga tidak jauh berbeda ketika Nabi SAW melaksanakan
dakwah, yaitu bil hikmah, mauidloh khasanah dan mujadalah. Sedangkan
metode yang digunakan juga tetap mengacu pada hadist : Barang siapa
melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak
mampu maka rubahlah dengan lisanmu, jika tidak mampu maka rubahlah
dengan hatimu. Itulah selemah-lemahnya iman.
7. Peran dan Fungsi konselor
Konselor dalam konseling Islam bisa berperan sebagai guru, mitra/
sahabat untuk bertukar pikiran, orang tua dan model. Sehingga sesuai
dengan tujuan konseling, yaitu mengembalikan fungsi iman sebagai
penentu dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Oleh karena itu, syarat sebagai konselor muslim harus dipenuhi, yaitu
selain menguasai dan memahami tehnik dan pendekatan konseling secara
umum, juga harus memahami tentang Islam itu sendiri.
Analisis konseling menurut Islam berdasarkan Al Qur’an dan Hadist
dengan teori Eksistensial Humanistik, setelah penulis bandingkan,
ternyata terdapat perbedaan, terutama dalam memandang manusia.
Orientasi keberadaan manusia adalah dunia akhirat, yaitu untuk di sini
dan di sana, yang sudah berlalu, sekarang dan yang akan datang.
Pandangan Islam tentang manusia adalah fitrah yaitu suci dan beriman.
Punya potensi akal, penglihatan, pendengaran dan hati untuk bisa
menentukan jalan hidupnya, bertanggung jawab atas jalan yang dipilihnya
itu, selalu berpikir positif dalam setiap gerak langkahnya , bahwa hari ini
harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari
pada hari ini. Adanya keterkaitan dalam setiap tahap kehidupannya,
antara masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang.
Manusia tidak boleh terbelenggu oleh masa lalu yang suram, demikan
juga tidak boleh terpaku dan silau oleh keberhasilan yang ada
dihadapannya. Semua yang ada di dunia ini adalah ujian sekaligus
amanat yang harus dipertanggung jawabkan kelak di akhirat. Oleh karena
itu manusia harus bisa mengendalikan diri, ihtiar dan tawakkal kepada
Allah, itulah kunci iman.
Dalam Eksistensial Humanistik adalah pribadi itu sendiri yang
menentukan perilaku seseorang. Menurut Islam, karena sudah dibekali
dengan potensi akal, pendengaran, penglihatan dan hati, maka tergantung
manusia itu sendiri, mampu atau tidak dalam memanfaatkan potensi yang
sudah diberikan Allah kepadanya untuk melihat dan mendengar tanda-
tanda kekuasaan Nya. Perilaku manusia disatu pihak ditentukan oleh
manusia itu sendiri, karena secara fitrah sudah dibekali Allah sejak
lahir yaitu berupa bakat, di pihak lain adalah karena adanya campur
tangan dari pihak lain, yaitu lingkungan dan masih ada satu unsur lagi
sebagai pengendali dan penentu perilaku manusia adalah adanya unsur
iman. Jadi dapat penulis simpulkan di sini perilaku manusia menurut
Islam terjadi karena bakat, pengaruh lingkungan dan iman, termasuk di
dalamnya adanya campur tangan pihak lain, yaitu Allah.
Menurut penulis, prinsip Eksistensial Humanistik yang selalu ingin
mengaktualisasikan dirinya yang tidak terbatas seperti ini adalah bagus
dan berorientasi pada berpikir positif. Namun teori ini seakan lupa kepada
siapa yang menciptakan manusia, untuk apa dia diciptakan. Sebenarnya
pandangan teori ini tentang hakikat manusia adalah hampir sama dengan
pandangan Islam, atau kalau boleh penulis katakan Islam lebih condong
kepada Eksistensial Humanistik. Tetapi ada satu hal yang prinsip dalam
Islam, namun tidak diakui oleh teori ini yaitu peran Tuhan sebagai
pencipta, pemberi dan penentu kehidupan, dan ini adalah paling penting
dalam keimanan.
Penutup
Dari paparan dan deskripsi tersebut ditemukan tentang kemungkinan
penerapan dan relevansi enam dimensi dasar positif dari teori Eksistensial
Humanistik dalam konseling Islam, bahwa pada dasarnya di dalam ajaran
Islam yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadist sudah memuat
keseluruhan isi dari enam dimensi dasar positif tadi. Hal ini dapat dilihat
paparan tersebut di atas tentang ayat-ayat yang bersinggungan dan
berhubungan dengan konseling, khususnya yang memuat tentang enam
dimensi dasar positif. Oleh karena itu kalau kita kaji lebih mendalam
tentang enam dimensi dasar positif tersebut ternyata saling berhubungan
antara dimensi yang satu dengan dimensi yang lain. Muatan yang
terkandung dalam enam dimensi dasar positif bisa dikatakan sesuai dan
bisa diterapkan dalam konseling Islam. Dengan catatan apa yang
terkandung di dalamnya hanya sebagian kecil dari ajaran Islam, karena
secara khusus pula juga tidak menjelaskan akan adanya akhirat, pahala
dan dosa, surga dan neraka, keimanan, ketakwaan, apa lagi pengakuan
akan keberadaan Tuhan. Jelas, orientasinya masih bersifat keduniaan
semata. Meskipun demikian, tidak ada salahnya kita menerapkan enam
dimensi dasar positif tersebut ke dalam konseling Islam. Tentu saja muatan
yang dipakai/diterapkan adalah materi dari Al Qur’an dan Hadist,
sehingga diharapkan muncul formulasi baru dari enam dimensi dasar
positif yang berwawasan Islam.[]
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ancok, Djamaluddin & Nashori Fuad Suroso, Psikologi Islam, Solusi Islam
Atas Problem-problem Psikolog, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.
Bastaman, Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi Dengan Islam Menuju
Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995
Bishop, D. Russell, “Religious Values As Cross-Cultural Issues In
Counseling”, Counseling And Values. Vol : 36. 1992.
Collin, R. Gary, “Jenis / Bentuk Konseling”, http;//www.sabda org./
Publikasi/ e.konsel/034/ ( 6 April 2004).
Corey, Gerald, Theory And Practice of Counseling And Psychotherapy, 5rd
ed, 6rd ed., Brooks/Cole: Publising Company, 2000.
—————, Theory And Practice of Counseling And Psychotherapy, edisi
4. terj. Mulyarto, Semarang: IKIP Semarang Press, 1996.
Daradjat, Zakiah, Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, 1982.
—————, Membina Nilai-Nilai Moral Di Indonesia, Jakarta: Bulan
Bintang, 1976
Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah al-Qur’an, Al Qur’an dan
Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 1989.
Faqih, AR., Bimbingan Dan Konseling Dalam Islam, Yogyakarta: UII Press,
2001.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi, 2001
Hadhiri, Choiruddin SP., Klasifikasi Kandungan Al Qur’an, Jakarta: Gema
Insani Press, 1993.
Hawari, Dadang, Al Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa Dan Kesehatan Jiwa,
Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1999.
Ivey, Allen E & Downing, LS., Counseling And Psychotherapy, Skill, Theories
and Practice, Hall in the USA, 1980.
Langgulung, Hasan, Teori-Teori Kesehatan Mental, Jakarta: Pustaka Al
Husna, 1986.
Munandir, Ensiklopedia Pendidikan, Malang: UM Press, 2001.
Teologia, Volume 19, Nomor 1, Januari 2008 19
Penerapan Enam Dimensi ...Oleh Maryatul Kibtyah
Musnamar, Thohari, Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan Dan Konseling
Islami, Yogyakarta: UII Press, 1992.
M. Th. Herlianto, “Humanisme Dan Gerakan Zaman Baru”, http;//
www.geocities.com/reformed/artikel/apokrip.htm. Diakses 6 April
2004.
Powell, Stanard, Rebecca; Daya Singh Sandhu & Linda C Painter,
“Assessment Of Spirituality In Counseling”, Journal Of Counseling
& Developmental, vol. 78, tahun 2000.
Rosjidan, “Konseling Bercorak Psikokultural”, Makalah disajikan dalam
Pelatihan Sertifikasi Tes bagi Konselor, Universitas Negeri Malang,
28 Juni – 13 Agustus, 2008.
Shertzer / Stone, Fundamentals Of Counseling, third ed., Boston: Houghton
Mifflin Company,1980.
Zinnbauer, J. Brian & Pargament, I, Kenneth, “Working with The Sacred:
Four Approache To Religious And Sprirtual Issues In Counseling”,
Journal Of Counseling & Developmental, vol. 78, tahun 2000.
http://chibyelhasanah.blogspot.com/2010/02/penerapan-enam-dimensi-dasar-positif.html?zx=612872385f133a0e

0 komentar:

Posting Komentar

Template by : kendhin x-template.blogspot.com